Aku ingin bebas mengarungi setiap samudera yang kulalui.
Aku ingin menari bersama angin, dan menyapa tiap bunga yang kulalui
Aku ingin bersinar bersama matahari, bulan, dan bintang
Aku ingin serupawan pelangi yang dinanti kala usainya hujan
Aku ingin bebas, mereguk setiap oksigen yang masih cuma-cuma
Aku ingin bebas, tanpa batas memeluk alam-Mu
Ah, mari kita flashback sebentar. Pertemuannya hanya saat rapat dan bila ada agenda. Mereka pun tidak satu divisi, jadi jarang bertemu. Namun, siapa sangka. Alan ternyata diam-diam memperhatikannya. Dan tidak sulit bagi Alan untuk menghubunginya. Pertama-tama, hanya menyapa. Bertanya tentang buku-buku yang dibacanya, karena Rianna, nama gadis itu, sangat suka membaca. Dia tau Alan hanya berbasa basi, karena Alan, walaupun ia cerdas, bukanlah penggemar berat buku seperti dirinya. Paling banter juga baca komik, dan selebihnya baca buku kuliah dan listrik-listrik itu. Alan lebih suka praktik lapangan, seperti membuat alat-alat atau apapun yang Rianna tidak paham. Ia mendengar itu dari teman-temannya yang sering heboh membicarakan Alan.
"Iya, masih bisa. Mau pesan kue apa?"
"Yang paling enak apa mbak?"
"Yang paling sering dipesen sih oreo cheese cake"
"oo.. itu mbak suka?"
"hah? Maksud?"
"iyaa.. mbak suka ndak oreo cheese nya?"
"kalau saya pribadi suka yang ogura cheese cake. Saya kurang suka yg terlalu manis"
"ooh, kalau itu saya pesen yang ogura aja deh mbak. berapa mba?"
Rianna menyebutkan harganya.
"oya mau di jemput ketempat atau via gosend?"
"biar saya jemput aja mbak. tanggal 4 sore bisa ya, mbak?"
"bisa. bentar, saya kasih alamatnya dulu"
Setelah mengirimkan alamatnya, Rianna kembali melanjutkan aktivitas yang sebelumnya. Tapi, dia lupa. Pakai kartu ucapan nggak ya dia. Pikirnya. Ada juga pelanggan yang baru ingat saat hari H, kepepet cari kartu ucapan, dan jadinya kurang bagus. Ah, nggak usah tanya deh.
Walaupun saya hobinya ketawa, bukan berarti saya nggak bisa serius. Diumur yang udah lewat 22 tahun, mama selalu bilang "waktu mama seumur kamu, anak mama udah dua. udah ngerantau jauh ke ibukota" sedangkan saya masih dengan nyamannya berada disamping orangtua saya.
Saya sendiri tipe orang yang akan mengusahakan apa yang saya inginkan, dan saya tipe orang yang nggak cepet nyerah. Tapi, saya gampang muak. Susah ngejelasinnya, tapi menurut saya nggak cepet nyerah dan muak itu beda. Kapan-kapan lah saya bahasnya.
Dan menjelang saya lulus (secepatnya), orangtua selalu kasih opsi saya mau ngapain kelak. Mau lanjut S2 dulu kah? Mau kerja dulu? Mau kursus masak? (oke, itu saya yang pengin) atau....
langsung menikah?What? Dulu, setidaknya setahun yang lalu. Saya kira nikah itu enak. Menyempurnakan separuh agama, dan keindahan lainnya. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin bakal ada sisi nggak enaknya juga. Saya nggak maksa yang baca untuk punya sudut pandang yang sama dengan saya. Kalau menurut kalian nikah itu selalu positif, ya silakan. Saya ngeh setelah deep conversation sama temen saya. Yang bikin saya setuju adalah "lo yakin langsung klop sama orang yang baru lo kenal dalam hitungan bulan? Atau bahkan hari? Lo bakal tinggal satu atap sama dia, berbagi semua printilan hidup lo yang biasanya cuma orang terdekat lo yang tau, dan sekarang, those stanger trying to came into your life. You will wake up and see his face, everyday. Ngga bosen?"
Iya juga, ya? Tapi, tentu saya nggak nelan mentah-mentah semua perkataan temen saya dan coba debate opininya. Tapi, poin saya bukan itu. Saya baru sadar nggak semudah itu membuat sebuah keputusan setelah berkenalan dengan beberapa orang, dan ujung-ujungnya selalu berakhir dengan saya yang walk out duluan. Karena saya selalu nemuin apa yang saya nggak suka, dan nggak mempertimbangkan positifnya mereka. Apa ada yang salah dengan saya?
Setelah saya pikir-pikir, mungkin saya belum ketemu the right one aja. Karena orang yang tepat selalu hadir di saat yang tepat. Jangan keburu-buru sih, itu intinya.
Oke, saya mau ngampus dulu. Semoga bisa kembali dengan beberapa pemikiran yang baru dan diskusi hangat dengan teman-teman mungkin bisa membantu.
Hai! Setelah post yang sebelumnya berjudul 'pamit' sekarang post 'kembali' aja deh biar nyambung. Padahal saya nggak pamit kemana-mana sih. Lagi sibuk ngurusin skripsi dan hectic banget rasanya. Kalau ada waktu luang malah nontonin youtube dengan segala kontennya yang random. Mulai film dakwah kreatif, tips diet (nahloh), make up, sampai video absurd tapi kocak abis. Pokoknya beneran random. Dan ngeliat laptop udah sakit kepala duluan, karena kalo liat laptop inget proposal yaa. huhu. Tapi gimanapun itu tanggung jawab saya yang harus diselesaikan secepatnya. Nah, mumpung udah berminggu-minggu bergulat sama skripsi, saya mau ambil break (haha) sehari dulu. Gara-gara nggak pernah rampung ngedit template blog ini. Akhirnya selama 24 jam terakhir, saya mendem dikamar sambil ngedit kode-kode itu. Terakhir ngedit pas kelas 2 SMA, jadi udah agak lupa gimana caranya. Alhasil ya googling sana sini. Beda banget ya pas sembilan taun yang lalu belum banyak blog yang ngasih cara edit javascript. Lah sekarang udah banyak banget.
Hmm mungkin itu dulu ya, saya mau kembali ngedit proposal ini :')
Daah!
*dapet bonus foto panda nih. Dia ngantuk, sama kayak aku
Postingan berikut ini bukan karya saya, melainkan dari blog Kurniawan Gunadi. Dan di suaracerita ada versi narasinya gitu, yang bikin seorang dokter rekan mas gun. Baiklah, selamat membaca, semoga tak mengharu biru seperti saya yang suka sekali membacanya berulang kali :')
Malam itu, ketika dikira anak perempuannya terlelap. Bapak berbicara kepada ibu di ruang tamu. Tentang segala kemungkinan yang terjadi bila anak perempuan satu-satunya diambil orang. Tentang sepinya rumah ini. Tentang masa tua. Tentang hidup berumah tangga. Kukira bapak berlebihan. Tapi warna suaranya menunjukkan kepedulian.
Aku yang sedari tadi pura pura tidur, mendengarkan. Semoga aku bertemu dengan laki-laki yang lebih bijaksana dari bapak. Karena aku membutuhkan kebijaksanaannya untuk memintanya tidak meninggalkan bapak dan ibu sendirian.
Ku harap ada yang meng-aamiin-kan.
Mi, apapun yang terjadi, saya selalu sebut ami dalam rabithah. Selalu.
Cinta yang sebenarnya:')
Kadang, mencintai seseorang hanya perlu memastikan orang itu berada dalam kebaikan. Itu lebih berarti dibanding dia selalu ada disisimu...dalam keburukan (Putri Turandokht dalam Muhammad 2)
Pos kali ini pendek aja. Cuma mau nulis apa yang terlintas di benak, jangan mudah mempersepsikan sesuatu sebelum kamu lihat sesuatu itu di habitat aslinya. Bisa jadi dia bijak, pendiam, kalem, karena dia belum deket atau jaim sama kamu. Tapi lihat dia sama teman-temannya. Begitu interaksi kamu sama dia kalau kamu udah deket sama dia. Tapi kalau kamu baru kenal gitu aja (apalagi cuma pake media sosial, atau chatting) belum tentu dia begitu.
Semoga bisa mengambil manfaat.
Dari curhatan temen saya, saya jadi mikir.
"Aku ingin mencintamu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
― Sapardi Djoko Damono
lah kalo gitu tinggal unfollow aja. Gitu aja kok repot!
Perlukah?